Sekarang ini kita memasuki era posmodernisme. Kita hidup pada zaman
yang mengalami perubahan dramatis. Struktur yang telah bertahan dari
generasi ke generasi sedang mengalami keruntuhan, atau diruntuhkan.
Sangat
sulit mengetahui definisi istilah ‘posmodernisme’, karena jika definisi
diartikan sebagai sesuatu yang bisa disepakati, tunggal, dan bulat;
maka kesepakatan, ketunggalan, dan kebulatan itulah yang tidak
diinginkan oleh posmodernisme. Yang bisa dilakukan hanyalah
mengira-ngira apa yang menjadi ciri-ciri posmodernisme. Hanya dengan
membuat pengelompokan, barulah kita dapat menangkap arti atau definisi
posmodernisme.
Posmodernisme memiliki keragaman gerakan, sebagai akibat
akibat-akibat negatif yang ditimbulkannya. Kategori pertama, adalah
gerakan posmodernisnme yang digagas oleh Nietzsche, Derrida, Foucault,
Vattimo, Lyotard, dan lain-lain. Gerakan ini menggagas
pemikiran-pemikiran yang banyak berurusan dengan persoalan linguistik.
Kata kunci yang populer untuk kelompok ini adalah “dekonstruksi”. Mereka cenderung hendak mengatasi gambaran dunia (worl-view) modern melalui gagasan yang anti world-view sama sekali. Mereka mendekonstruksi atau membongkar segala unsur yang penting dalam sebuah world-view seperti
: diri, Tuhan, tujuan, makna, dunia nyata, dst. Awalnya strategi
dekonstruksi ini dimaksudkan untuk mencegah kecenderungan totalitarisme
pada segala sistem; namun akhirnya cenderung jatuh ke dalam relativisme
dan nihilisme.
Kategori kedua, posmodernisme adalah segala pemikiran yang hendak
merevisi modernisme, tidak dengan menolak modernisme itu secara total,
melainkan dengan memperbarui premis-premis modern di sana-sini saja. Di
sini, tetap diakui sumbangan besar modernisme seperti : terangkatnya
rasionalitas, kebebasan, pentingnya pengalaman, dsb. Heidegger hanyalah
salah satu posmodernis yang masuk kategori kedua ini. Philoshopy of difference yang
dinisbatkan kepada Heidegger mengatakan bahwa segala perbedaan antara
kepalsuan dan kebenaran, rasional dan irrasional harus diletakkan di
luar jangkauan bahasa dan konsep-konsep yang melekat dengannya. Ini
berarti bahwa segala sesuatu yang kita hadapi dalam pengalaman kita di
dunia tidak kurang dan tidak lebih dari suatu penafsiran; dan segala
sesuatu di dunia ini selalu ditafsiri sesuai dengan nilai-nilai
subjektif dalam diri kita. Di sini yang bermain adalah dunia
interpretasi yang berbeda-beda. Philosophy of difference kemudian menjadi asas bagi penolakan terhadap kebenaran transenden.
Karakter yang sering disuarakan postmodernisme antara lain adalah pluralisme,
heterodoks, eklektisisme, keacakan, pemberontakan, deformasi, dekreasi,
disintegrasi, dekonstruksi,pemencaran, perbedaan, diskontinuitas,
dekomposisi, de-definisi,demistifikasi, delegitimasi serta demistifikasi
(Bertens, 1995: 44).
Merujuk Akbar S. Ahmed, dalam bukunya Postmodernism and Islam (1992), terdapat delapan ciri karakter sosiologis postmodernisme.
Pertama, timbulnya pemberontakan secara kritis terhadap
proyek modernitas, memudarnya kepercayaan pada agama yang bersifat
transenden dan semakin diterimanya pandangan pluralisme-relativisme
kebenaran.
Kedua, meledaknya industri media massa, sehingga ia seolah
merupakan perpanjangan dari system indera, organ dan syaraf manusia.
Kondisi ini pada gilirannya menjadikan dunia dan ruang realitas
kehidupan terasa menyempit. Lebih dari itu, kekuatan media massa telah
menjelma menjadi Agama dan Tuhan baru yang menentukan kebenaran dan
kesalahan perilaku manusia.
Ketiga, munculnya radikalisme etnis dan keagamaan.
Fenomena ini muncul sebagai reaksi manakala orang semakin meragukan
kebenaran ilmu, teknologi dan filsafat modern yang dinilai gagal
memenuhi janji emansipatoris untuk membebaskan manusia dan menciptakan
kehidupan yang lebih baik.
Keempat, munculnya kecenderungan baru untuk menemukan identitas dan apresiasi serta keterikatan romantisme dengan masa lampau.
Kelima, semakin menguatnya wilayah perkotaan (urban area)
sebagai pusat kebudayaan dan sebaliknya, wilayah pedesaan (rural area)
sebagai daerah pinggiran. Pola ini juga berlaku bagi menguatnya dominasi
negara maju (Negara Dunia Pertama) atas negara berkembang (Negara
Dunia Ketiga).
Keenam, semakin terbukanya peluang bagi pelbagai kelas
sosial atau kelompok minoritas untuk mengemukakan pendapat secara lebih
bebas dan terbuka. Dengan kata lain, era postmodernisme telah turut
mendorong proses demokratisasi.
Ketujuh, munculnya kecenderungan bagi tumbuhnya ekletisisme dan
pencampuradukan berbagai diskursus, nilai, keyakinan dan potret serpihan
realitas, sehingga sekarang sulit untuk menempatkan suatu objek budaya
secara ketat pada kelompok budaya tertentu secara eksklusif.
Kedelapan, bahasa yang digunakan dalam diskursus postmodernisme
seringkali mengesankan tidak lagi memiliki kejelasan makna dan
konsistensi, sehingga bersifat paradoks (Ahmed, 1992:143-4).
Jika posmodernisme mengatakan keberanan objektif tidak lagi
dipercayai sebagai kebenaran absolut, maka mekanisme kebenaran yang
bekerja adalah kebenaran subjektif atau relatif. Tidak ada lagi nilai
yang diakui sebagai nilai tertinggi. Suatu konsep tidak lagi didasarkan
pada sesuatu hal yang bersifat divine dan metafisis. Lalu, dimana posisi agama dalam dunia posmodernisme?
Posisi agama dalam dunia posmodernisme dijelaskan dengan baik oleh
Hamid Fahmy Zarkasyi. Menurutnya, agama tidak lagi berhak mengklaim
punya kuasa lebih terhadap sumber-sumber nilai yang dimiliki manusia
seperti yang telah diformulasikan oleh para filosof. Jadi, agama
dipahami sebagai sama dengan persepsi manusia sendiri yang tidak
memiliki kebenaran absolut. Oleh sebab itu agama mempunyai status yang
kurang lebih sama dengan filsafat dalam pengertian tradisional. Dari
kesalahan epistemologi, posmodernisme kemudian menjadi tantangan berat
bagi umat Islam saat ini.
Tantangan posmodernisme bagi umat Islam semakin berat ketika paham
ikutan yang dibawa posmodernisme, kemudian dijadikan sebagai landasan
berpikir para sarjana Islam semacam Muhammad Abid al-Jabiri, Mohammad
Arkoun, Hassan Hanafi, Nashr Hamid Abu Zayd, Muhammad Syahrur, dan
lain-lain. Di tangan para sarjana Islam kontemporer ini, posmodernisme
berhasil menancapkan pengaruhnya dalam kajian Islam.
Mengapa banyak sarjana Muslim yang tertarik pada rayuan
posmodernisme? Dalam sebuah perkualiahan, Nirwan Syafrin Manurung
menjelaskan bahwa beberapa faktor yang mendorong para sarjana Islam
menggunakan framework posmodernisme dalam kajian Islam; yakni :
frustasi atas kemunduran umat Islam dan bangsa Arab pada khususnya,
kekalahan bangsa Arab atas Israel pada Perang Enam Hari tahun 1967,
frustasi terhadap pemerintah Arab yang semakin otoriter, dan frustasi
atas maraknya gerakan kebangkitan Islam. Doktrin-doktrin posmodernisme
yang menjadi tantangan berat bagi Islam antara lain :
1. Nihilisme
Doktrin yang digunakan para posmodernis adalah konsep mereka tentang
nilai. Program posmodernisme adalah penghapusan nilai dan penggusuran
tendensi yang mengagungkan otoritas. Hal ini dengan mereduksi makna
nilai yang dijunjung tinggi dan dinilai sebagai absolute oleh agama dan
masyarakat. Nihilisme atau penghapusan nilai (dissolution of value) pertama kali diperkenalkan oleh Nietzsche (1844-1900). Dalam karyanya, Will To Power, Nietzsche
menggambarkan nihilisme sebagai situasi dimana “manusia berputar dari
pusat ke arah titik X”; artinya, nilai tertinggi mengalami devaluasi
dengan sendirinya.
Nietzsche melakukan penghancuran tatanan nilai lama yang diartikannya
sebagai kepalsuan dan kebohongan. Tetapi karena nilai-nilai tradisional
itu berkaitan langsung dan tak terpisah dengan agama, Nietzsche
memproklamirkan “kematian Tuhan” sebagai peristiwa paling penting zaman
ini. Tuhan hanyalah gagasan manusia yang tidak berani mengikuti dorongan
daya hidupnya sendiri. Nietzsche secara radikal menyangkal adanya Tuhan
bukan berdasarkan pertimbangan filosofis-rasional, melainkan karena
dengan adanya Tuhan, ia tidak melihat adanya ruang bagi pengembangan
diri manusia; ia menyebutnya dengan sang Manusia Super. Manusia Super
hidup bernapaskan semangat kekuasaan, yang telah terbebas dari belenggu
sistem nilai dan moralitas lama serta secara bebas mewujudkan “kehendak
untuk berkuasa” (Will to power).
Heidegger (1889-1976) dengan nada yang sama mendefinisikan nihilisme
sebagai “suatu proses dimana pada akhirnya tidak ada lagi yang tersisa”.
Bagi Heidegger, tetap ada perbedaan ontologis antara Being (sang Ada) yang sesungguhnya dengan being (para
pengada). Artinya, semua hal adalah tentang penafsiran. Itulah sebabnya
kebenaran pun harus dilihat sebagai sesuatu yang ambigu. Premis ini
dinamakan philoshopy of difference, yang kemudian akan menjadi penghubung antara nihilisme dan hermeneutika (filsafat interpretasi).
Nietzsche dan Heidegger, keduanya menuju satu titik dimana manusia
tidak lagi berpegang pada struktur nilai; nilai tidak lagi mempunyai
makna. Suatu konsep tentang apapun tidak lagi berdasarkan pada sesuatu
yang metafisik, religius, ataupun mengandung unsur ketuhanan. Hal ini
memposisikan posmodernisme vis a vis agama.
2. Relativisme
Ernest Gellner menyatakan bahwa posmodernisme Nampak jelas mendukung
paham relativisme. Kebenaran bagi posmodernisme adalah elusive (kabur),
subjektif dan internal. Oleh sebab itu mereka tidak bias menerima ide
tentang kebenaran tunggal, eksklusif, eksternal, dan transenden.
Relativisme terutama diusung dan diolah oleh Derrida. Sambil menarik
kesimpulan-kesimpulan radikal dari Nietzsche, Husserl, dan Heidegger,
lewat post-strukturalisme, ia sampai pada gagasan, bahwa pada akhirnya
bahasa dan kata-kata adalah kosong belaka, dalam arti mereka sebetulnya
tidak menunjuk pada sesuatu apa pun selain pembedaan (differance)
: pembedaan arti yang dimungkinkan oleh system lawan kata. ‘Makna’,
tiada lain adalah permainan semiologik, permainan tanda-tanda. Dengan
cara ini, maka yang biasa disebut ‘kenyataan’, ‘ada’, atau ‘kebenaran’,
misalnya, lenyap. Dari sini, maka diskursus dibawa ke arah pentingnya
hermeneutika yang membawa segala persoalan pada wilayah dialog.
Akibatnya,kebenaran itu relative, tergantung kepada pendirian subjek
yang menentukan. Doktrin ini mempengaruhi pemikiran cendekiawan Muslim
dari tingkat mahasiswa hingga dosen, sehingga kini banyak yang hanyut
dengan menyatakan bahwa “kebenaran itu relative”, “kita tidak dapat
mengetahui kebenaran absolute, yang absolute hanya Tuhan”, dan
sejenisnya.
Atmosfir pemikiran posmodernisme dengan doktrin subjektifitas dan
relativisme kebenaran ini adalah salah satu faktor penting bagi lahirnya
paham pluralisme dan pluralisme agama. Paham ini diusung oleh
liberalisme.
3. Pluralisme
Pluralisme merupakan ‘dampak bawaan’ atau konsekuensi logis dari
doktrin subjektivitas dan relativisme. Lagi-lagi Derrida menyumbangkan
kerangka berpikir pluralisme. Konsepnya tentang ‘Differance’ berbicara
mengenai penolakan terhadap adanya petanda absolute atau ‘makna
absolut’, ‘makna transendental’, dan ‘makna universal’. Penolakan ini
mesti dilakukan, dan menurut Derrida sudah pasti terjadi, karena dengan
adanya proses ‘Differance’ tadi, apa yang dianggap sebagai
petanda absolute akan selalu berupa jejak di belakang jejak. Selalu ada
saja celah antara penanda dan petanda, antara teks dan maknanya. Celah
inilah yang menyebabkan pencarian makna absolute mustahil dilakukan.
Setelah kebenaran ditemukan, ternyata masih ada lagi jejak kebenaran
lain yang ada di belakangnya.
Hal ini dibenarkan oleh Oxford Dictionary of Philosophy. ‘Pluralisme’
adalah teori yang seirama dengan relativisme dan sikap curiga terhadap
kebenaran. Ia terkadang juga dipahami sebagai doktrin yang berpandangan
bahwa di sana tidak ada pendapat yang benar atau semua pendapat adalah
sama benarnya. Definisi ini kemudian diaplikasikan pada agama, sehingga
muncullah pluralisme agama.
John Hick memberikan definisi yang fenomenal, yang menjadi rujukan
oleh kalangan para ahli dari berbagai disiplin ilmu yang berbeda.
Menurutnya, pluralisme agama adalah :
“…the view that the great world faiths embody different
perceptions and conceptions of, and correspondingly different responses
to, the Real or the Ultimate from within the major variant cultural ways
of being human; and that within each of them the transformation of
human existence from self-centredness to Reality centredness is
manifestly taking place—and taking place, so far as human observation
can tell, to much the same extent.”
Hick ingin menegaskan bahwa sejatinya semua agama adalah
“manifestasi-manifestasi dari realitas yang satu”. Dengan demikian,
semua agama sama dan tak ada yang lebih baik dari yang lain. Dengan
gagasan ini, maka masing-masing agama mempunyai metode, jalan, atau
bentuk untuk mencapai “Tuhan”.
Paham semacam itu jelas menolak kebenaran eksklusif akidah Islam dan
menyamakan Islam dengan semua agama. Maka, sudah tepat rumusan yang
dibuat MUI mengenai ‘pluralisme agama’ dan status hukumnya, sebagai
paham yang bertentangan dengan ajaran Islam dan haram bagi kaum Muslim
untuk memeluk paham semacam itu.
4. Liberalisme
Paham liberalisme berawal dari kebebasan berpikir. Kebebasan
berpikir, berarti berpusat pada kebebasan individu, yang memiliki hak
dalam pemerintahan, termasuk persamaan hak dihormati, hak berekspresi
dan bertindak serta bebas dari ikatan-ikatan agama dan ideologi.
Liberalisme dianggap bersikap positif terhadap manusia, kemampuan dan
kesempurnaannya. Manusia dianggap makhluk yang terus berkembang
sifatnya, pemahaman dan moralitasnya. Manusia, karena itu, dianggap
mampu menentukan kehidupan mereka sendiri dan karena itu segala
perbuatan manusia adalah milik individu yang tidak boleh dicampuri oleh
lembaga atau orang lain. Liberalisme menekankan pada hak-hak individu,
menentang kekuasaan dan otoritas resmi. Di sini pengaruh Barat modern
dan postmodern yang individualistis begitu nyata dan radikal. Karena
radikalnya itu mereka percaya bahwa manusia mampu menjadikan segala
sesuatu menjadi lebih baik. Semua ini mengawali upaya pemarjinalan agama
atau memisahkan agama dari urusan sosial dan politik secara
perlahan-lahan. Agama tidak diberi tempat di atas kepentingan sosial dan
politik. Sama seperti yang terjadi ketika liberalisme didesakkan ke
dalam pemikiran keagamaan Katholik dan Protestan, ia telah
mensubordinasikan Islam di bawah kepentingan politik dan humanisme,
terjadilah sekularisme di tubuh Islam, yang dibawa oleh agen-agennya.
Liberalisme yang didesakkan ke dalam pemikiran keagamaan Islam telah
mendestruksi dan mendistorsi konsep-konsep yang diyakini oleh umat Islam
sebagai konsep yang sudah pakem, selain dengan mendistorsi sejarah
Islam dan umat Islam.
Islam kemudian banyak dimaknai hanya dengan makna generic atau makna bahasa sebagai “tindakan pasrah kepada Tuhan” (submission to God)
tanpa melihat, bagaimana cara pasrah kepada Tuhan itu – apakah
kepasrahan kepada Tuhan itu menggunakan ajaran Nabi Muhammad SAW atau
bukan. Upaya dekonstruksi makna Islam sebenarnya merupakan bagian dari
upaya dekonstruksi istilah-istilah atau konsep-konsep kunci dalam Islam.
Jika makna Islam didekonstruksi, maka akan terdekonstruksi juga makna
“kafir”, “murtad, “munafik”, “al-haq”, “dakwah”, “jihad”, dan lain-lain.
Banyak cendekiawan Muslim yang akhirnya termakan paham relativisme,
yang mengakibatkan kerusakan struktur ilmu pengetahuan dalam Islam.
Bahkan agama Islam itu sendiri sudah tidak ada artinya apa-apa lagi
karena hanya merupakan agama yang benar secara relatif.
Selain menanamkan doktrin relativisme, langkah liberalisasi yang
paling strategis adalah melakukan kritik terhadap Al-Qur’an yang
merupakan sumber kekuatan Islam. Dengan menerapkan biblical criticism
dalam studi Al-Qur’an, para orientalis melontarkan berbagai pendapat
yang controversial mengenai Al-Qur’an seperti : Al-Qur’an telah
mengalami berbagai penyimpangan, standardisasi Al-Qur’an disebabkan
rekayasa politik dan manipulasi kekuasaan, Utsman bin Affan salah karena
telah mengkodikasi Al-Qur’an, Al-Qur’an ditulis bukan dengan bahasa
Arab tetapi bahasa Aramaik, Al-Qur’an adalah karangan Muhammad, terdapat
sejumlah kesalahan dalam penulisan AL-Qur’an, tidak ada dalam Al-Qur’an
yang orisinal dan berasal dari langit karena wujudnya pengaruh
Yahudi-Kristen yang sangat dominan dalam Al-Qur’an, menyamaratakan
qira’ah mutawatirah dengan qira’ah shadhdhah, merubah kata dan kalimat
dalam Al-Qur’an dan lain sebagainya. Dari hasil kajian kritis tersebut
kesimpulannya adalah perlunya diwujudkan Al-Qur’an edisi kritis.
Dan masih banyak lagi upaya liberalisasi terhadap pemikiran Islam.
Ambil contoh penyebaran feminisme dan gender dan mendekonstruksi
syariah. Kalangan liberal bahkan sudah berani menghalalkan perilaku
homoseksual dan lerbian, dengan landasan berpikir feminisme radikal yang
menuntut kesamaan laki-laki dan perempuan dalam memperoleh kepuasan
seksualnya masing-masing. Kemudian tafsir diseret-seret dalam upaya
penghalalan ini dengan melakukan kritik dan reaktualisasi terhadap
tafsir mengenai kisah Nabi Luth dan konsep pernikahan.
Dekonstruksi syariah juga gencar dilakukan oleh kalangan liberal. Maslahah dijadikan
kuda hitam. Biasanya mereka melontarkan argument bahwa karena tujuan
ditetapkannya hukum Islam adalah untuk menciptakan maslahah kepada umat manusia maka maqasid syariah lebih utama daripada syariah. Selain itu, kaidah usuliyah al-ibratu bi umumillafz, la bi khususi al-sabab dibalik menjadi al-ibratu bi khususi al-sabab la umumillafz. Jadi
mereka ingin mengatakan bahwa perintah dan larangan dalam AL-Qur’an itu
harus dipahami dalam konteks budaya ketika ia diturunkan.
LIberalisasi pemikiran keagamaan Islam yang akhir-akhir ini mendapatkan momen euforianya, bukanlah sebuah tajdid atau
pembaruan, tapi melainkan tak lebih dari upaya membebek atau mengadopsi
secara membabi-buta terhadap tradisi intelektual Barat yang
dekonstruksionis dan dekstruktif. Oleh karena itu, umat Islam harus
mempertahankan dan mengembangkan tradisi keilmuan yang bersumber dari
Al-Qur’an, Sunnah, dan warisan tradisi intelektual Islam.
Modernisasi Agama
Modernisme dalam agama baru dikenal pada abad 19 M di Eropa. Istilah
ini dinisbatkan kepada gerakan protes Gereja Katolik Roma terhadap
otoritas Gereja konserfatif. Gerakan yang berupa protes ini juga dipakai
untuk gerakan liberalisme dalam Kristen Protestan. Sebelumnya, gerakan
liberalisasi agama lebih dahulu dipelopori oleh Yahudi, hanya saja
Yahudi tidak memakai istilah modernisme. Istilah ini dikenal oleh
Kristen. Jadi pada saat itu, modernisasi adalah istilah lain dari
liberalisasi.
Dalam Encyclopedia Americana (1972) V.19, modernisasi agama
diartikan pemikiran agama yang berangkat dari keyakinan bahwa
kemajuan-kemajuan sains dan kebudayaan modern menuntut adanya
reinterpretasi terhadap ajaran agama klasik sesuai pemikiran filsafat.
Dengan demikian, doktrin modernisasi adalah, teks wahyu dibawah sains,
teks agama harus ditafsir ulang agar sesuai dengan zaman. Ini sama saja
dengan liberalisasi.
Gerakan liberalisasi agama telah diawali oleh Yahudi. Istilah liberal
Judaism muncul pada akhir abad 18 M dipelopori oleh Moses Mende Isshon.
Mende berjuang menjembatani antara ilmu agama Yahudi dengan sains.
Namun gagal. Mende ngotot dengan ambisinya, menyesuaikan agama dengan
budaya modern. Kelompok Mende kemudian menjadi sekte sendiri. Hingga
saat ini ada tiga sekte besar Yahudi; Yahudi Ortodoks, Konserfatif dan
Yahudi Liberal.
Gerakan Mende ini di Jerman menyebutkan bahwa cita-citanya adalah
pembaharuan agama. Salah satu contoh pembaharannya adalah menjadikan
nyanyian agama dan alat musik sebagai media ibadah agar menarik para
pemuda. Namun tokoh paling memiliki andil besar dalam liberalisasi agama
Yahudi adalah Abraham Geiger.
Geiger melakukan pembaharuan konsep wahyu agama Yahudi. Ialah pelopor
pertama gerakan desakralisasi kitab suci. Menurutnya, “Penyampaian
wahyu itu pasti dipengaruhi oleh sifat-sifat manusiawi Nabi”. Kesimpulan
dia, apa yang termaktub dalam kitab suci adalah hasil kerja sama antara
ajaran Tuhan dengan manusia, antara hakikat Tuhan dan nalar manusia.
Taurat bagi dia belum mencakup hikmah ke-Tuhanan secara komprehensif.
Konsep agama juga ia gugat. Menurutnya, inti ajaran Yahudi bukan
tampak bentuk-bentuk dan konstruksinya bahkan bukan pula pada
syari’atnya. Akan tetapi tampak pada moralitasnya. Ini mirip dengan
konsep Fritjof Schuon, yang memilah antara wilayah esoterik dan
eksoterik. Eksoterik adalah bentuk-bentuk agama bersama syari’atnya.
Wilayah esoterik adalah zona transendental dimana Tuhan semua agama
bertemu di zona ini. Maka, esensi agama-agama itu bukan pada penjelmaan
eksoterik, tapi pada esterik.
Sedangkan dalam Kristen, gerakan pembaharuan mulanya bernama gerakan
reformasi gereja. Akan tetapi pada 1907 Paus Paulus X dalam selebarannya
menyebut gerakan ini dengan modernisme. Isu penting yang diwacanakan
dalam gerakan reformasi Kristen adalah penggunaan metode kritis historis
untuk kajian Bibel. Gugatannya adalah mempertanyakan apakah kitab suci
Bibel itu diwayhukan dari Allah atau produk manusia.
Bibel menjadi sektor utama bahan kritikan. Losy dalam Evangeles Sypnotiques
terang-terangan mengatakan bahwa Injil memuat beberapa cerita-cerita
khurafat. Segala yang ghaib dan supranatural dalam Bibel oleh Loisy
disebut khurafat. Ia mengatakan: “Cerita klasik seperti ini pasti
dibuat di luar Palestina. Di negeri yang jauh dari tempat lahirnya Isa
dan jauh dari pengetahuan tentang kebenarana liku-liku hidupnya. Ia
yakin bahwa Isa dilahirkan oleh seorang ibu dan ayah selayaknya
manusia-manusia lain. Dan ayahnya Yusuf seorang tukang kayu. Begitu juga
proses kematian Isa diliputi oleh berbagai keraguan. Menurutnya, Isa
dibunuh oleh soerang Yahudi, ia memotong tubuhnya dan membuangnya ke
saluran air, tetapi murid-muridnya tidak mempercayai…” (Mafhum Tajdiduddin, Busthami Said).
George Tyreel juga memiliki pendapat senada. “Wahyu adalah
manifestasi pribadi Tuhan dalam kehidupan bathiniyah kita. Kata wahyu
menunjuk kepada pengalaman keagamaan. Wahyu adalah fenomena abad yang
ada pada setiap orang yang beragama, dan tidak terputus selamanya”
katanya. Ciri khas gerakan modernisasi, selain menggugat wahyu juga
menolak otoritas pemuka gereja. Modernisme menganggap gereja bukan
lembaga yang didirikan oleh Isa tapi pendiriannya sebagai respon
historis bagi kebutuhan umat. Di Inggris tersebar keyakinan bahwa gereja
bukan lembaga yang bebas dari kesalahan, ajarannya tidak bersifat
tetap.
Agus Spetch, Guru Besar Teologi Protestan di Unviersitas Paris, menjelaskan arti pembaharuan agama; “Yang
dimaksud konsep pembahruan agama ialah bahwa pengetahuan agama harus
mengikuti perubahan kehidupan dan pemikiran manusia. Bentuk-bentuk yang
tidak dapat menerima perubahan menggambarkan kematian dan kemandulan
yang akan segera ditinggalkan orang”.
Gerakan pembaharuan Kristen di Eropa membuahkan institusi-institusi
yang keluar dari tradisi Gereja ortodoks. Pada tahun 1898 berdiri The Modern Churcmen Union,
yaitu wadah bagi kaum modernis. Semboyan yang dipakai bernada protes
dan kecewa; “Demi kemajuan pemikiran religius yang bebas”. Untuk
menyebarkan ide-idenya, mereka menerbitkan majalah Churchen Liberal yang terbit pertama kali pada 1904, dan majalah Modern Churcman yang terbit pada 1911.
Baik dalam Yahudi maupun Kristen doktrin dan isu pembaharuannya sama.
Gerakannya bermula dari protes terhadap sakralitas kitab suci,
penggunaan metode historis kritis, dan penolakan terhadap otoritas agama
(anti-otoritas). Pengalaman Yahudi dan Kristen tersebut oleh
cendekiawan muslim liberal tampaknya diadopsi. Akibatnya tidak membawa
pencerahan, tapi justru memunculkan banyak kerancuan. Kelirunya lagi,
modernisasi yang berarti liberalisasi disamakan dengan konsep tajdid.
Dalam dunia Islam Ahmad Khan asal India oleh Maryam Jameelah disebut
sebagai perintis modernisasi agama Islam. Ajaran yang diusung adalah;
Poligami bertentangan dengan semangat Islam, Hukum Potong Tangan adalah
biadab harus diganti, Isra’ Mi’raj adalah cerita ilusi, Tuhan itu
samar-samar tidak berbuat sesuatu untuk alama, al-Qur’an dan Sunnah
hanya khusus mengatur masalah tatacara ibadah bukan soal sosial,
ekonomi, budaya dan Jihad dilarang.
Tren pemikiran kaum modernis bukanlah pencerahan (tanwir) sebagaimana yang telah dilakukan oleh para mujaddid.
Mereka ternyata sekedar adopsi pengalaman Yahudi Kristen ke dalam
Islam. Padahal kasus-kasus yang melahirkan modernisasi pengalaman Yahudi
Kristen tidak pernah dialamai oleh Islam.
Di Indonesia gerakan semacam itu telah dipelopori Nurcholis Madjid,
yang sekarang bergulir dengan nama liberalisasi pemikiran Islam.
Gerakannya bukanlah pembaharuan, tapi ‘peniruan’ tradisi Barat. Pengaruh
paham modernisme dalam pemikiran Nurcholish lebih jelas lagi ketika ia
mengambil unsur utama modernisasi, yaitu sekularisasi untuk memahami
agama. Sekularisasi menurutnya adalah menduniawikan masalah-masalah yang
mestinya bersifat duniawi, dan melepaskan umat Islam untuk
mengukhrawikannya. Gagasan ini kemudian diperkuat dengan ide
liberalisasi pandangan terhadap ajaran-ajaran Islam yang intinya
memandang negatif terhadap tradisi dan kaum tradisionalis. Ternyata
gagasan ini mengadopsi pemikiran Harvey Cox dan Robert N Bellah,
pencetus gagasan sekularisasi dalam Kristen. Tidak ada modifikasi yang
berarti di situ. Ia hanya mencarikan justifikasinya dari dalam ajaran
Islam.
Tajdid Dalam Tradisi Islam
Tajdid adalah konsep yang ada dalam Islam, tidak di Barat. Secara lughawi
(bahasa) tajdid memiliki beragam arti; sesuatu yang baru, kembali,
memotong. Akan tetapi secara ringkas arti tersebut memberi tiga
penjelasan. Pertama, bahwa sesuatu yang diperbaruhi itu telah ada
permulaannya dan telah dikenal, bahwa sesuatu yang telah berlalu
beberapa waktu kemudian usang atau rusak, sesuatu itu telah dikembalikan
kepada keadaan semuala agar tidak rusak.
Arti tersebut berkait dengan mana istilahnya. Secara global dapat
didefinisikan bahwa pembaharuan adalah pembentukan kembali, yakni
pengembaliannya pada asal mula. Sebab pada mulanya agama pada mualanya
telah sempurna. Kemudian mengalami distorsi sebagaiannya. Maka usaha
pengembalian, atau pemulihan itulah namanya tajdid.
Oleh sebab itu, pembaharuan bukanlah membuat sesuatu yang baru, akan
tetapi ‘memotong’ penyimpangan, pemulihan konsep untuk dikembalikan
kepada ajaran al-Qur’an dan Hadis (Aunul Ma’bud Syarh Sunan Abu Dawud
Juz 11). Dalam penjelasan tersebut disebutkan bahwa pembaharuan berarti
penghidupan kembali setelah ajaran itu terdistorsi atau terhapus dan
hilang.
Secara ringkas tajdid adalah; Pertama, menghidupkan ajaran,
membangkitkannya, dan mengembalikan kepada aslinya. Kedua, memelihara
nash-nash agama secara benar dan bersih. Ketiga, menempuh metode yang
benar dalam memahami nash dan memaknai sebagaimana para salaf. Keempat,
menjadikan hukum agama agar berlaku dan menguasai dimensi kehidupan.
Kelima, menganalisa secara Islami setiap hal yang baru dan menentukan
pandangan Islam terhadapnya. Keenam, pembedaan mana yang termasuk ajaran
agama, mana yang mengotorinya dan penyelewengan. Dalam tradisi Islam,
setiap generasi dipastikan terdapat ulama’ yang menjadi mujaddid.
Rasulullah SAW dalam hadisnya telah menyebutkan bahwa setiap abad
akan ada mujaddid. “Sesungguhnya Allah SWT mengutus dalam setiap
penghujung abad orang yang memperbaruhi agama” (HR. Ahmad). Seorang mujaddid
menurut al-Suyuthi harus memiliki keunggulan akal fikiran menguasai
semua cabang ilmu. Selain itu seorang pembaharu harus selalu aktif dalam
aktifitas pembersihan Islam dari penyelewengan-penyelewengan, peduli
terhadap persoalan kontemporer pada setiap zamannya. Seperti al-Ghazali
yang melakukan kritik terhadap Filsafat Aristoteles yang mempengaruhi
ilmuan muslim dan menurut al-Suyuthi usaha al-Asy’ari memerangi bid’ah
Mu’tazilah. (Tabyin Kidzbi al-Muftara, hal.53. Seorang mujaddid juga
harus berciri memperbaiki sistem pemerintahan, penolong sunnah
pemberantas bid’ah (Faidlul Qadir, Juz 1). Ciri lainnya, seorang
mujaddid memiliki pengaruh yang tidak terbatas pada daerahnya saja, tapi
mengglobal dalam dunia Islam.
Dengan mengamati konsep tajdid tersebut, maka secara epistemologis
dan historis modernisasi tidak dapat dipersamakan dengan istilah tajdid.
Penyamaan term ini rupanya usah pengaburan makna konsep tajdid para
ulama salaf. Tajdid atau pembaruan Islam di era kontemporer dapat
dikatakn penggalian kembali konsep-konsep dalam khazanah Islam, yang
telah dilupakan dan dilepasakan oleh umat Islam. Pembaharuan bukan
modernisasi agama, bukan pula penyesuaian agama dengan doktrin-doktrin
modernisme; sekularisme dan pluralisme. Sebab doktrin postmodern
tersebut adalah doktrin Barat-sekular bukan Islam. Jika seperti ini
bukan pembaharuan namanya akan tetapi pembaratan. wallahu a'lam...
Share